"iman adalah mata yang terbuka
mendahului datangnya cahaya
tapi
jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban"
Saya
tertakjub membaca kisah ini; bahwa Sang Nabi hari itu berdoa.
Di
padang Badr yang tandus dan kering, semak durinya yang memerah dan
langitnya yang cerah, sesaat kesunyian mendesing. Dua pasukan telah
berhadapan. Tak imbang memang. Yang pelik, sebagian mereka terikat oleh
darah, namun terpisah oleh ‘aqidah. Dan mereka tahu inilah hari furqan;
hari terpisahnya kebenaran dan kebathilan. Ini hari penentuan akankah
keberwujudan mereka berlanjut.
Doa itulah yang mencenungkan saya.
“Ya Allah”, lirihnya dengan mata kaca, “Jika Kau biarkan pasukan ini
binasa, Kau takkan disembah lagi di bumi! Ya Allah, kecuali jika Kau
memang menghendaki untuk tak lagi disembah di bumi!” Gemetar bahu itu
oleh isaknya, dan selendang di pundaknya pun luruh seiring gigil yang
menyesakkan.
Andai boleh lancang, saya menyebutnya doa yang
mengancam. Dan Abu Bakr, lelaki dengan iman tanpa retak itu punya
kalimat yang jauh lebih santun untuk menggambarkan perasaan saya.
“Sudahlah Ya Rasulallah”, bisiknya sambil mengalungkan kembali selendang
Sang Nabi, “Demi Allah, Dia takkan pernah mengingkari janjiNya padamu!”
Doa
itu telah menerbitkan sejuta tanya di hati saya. Ringkasnya; mengapa
begitu bunyinya? Tetapi kemudian, saya membaca lagi dengan sama
takjubnya pinta Ibrahim, kekasih Allah itu. “Tunjukkan padaku duhai
Rabbi, bagaimana Kau hidupkan yang mati!”, begitu katanya. Ah ya.. Saya
menangkap getar yang sama. Saya menangkap nada yang serupa. Itu iman.
Itu iman yang gelisah.
Entah mengapa, para peyakin sejati justru
selalu menyisakan ruang di hatinya untuk bertanya, atau menagih. Mungkin
saja itu bagian dari sisi manusiawi mereka. Atau mungkin justru, itu
untuk membedakan iman mereka yang suci dari hawa nafsu yang dicarikan
pembenaran. Untuk membedakan keyakinan mereka yang menghunjam dari
kepercayaan yang bulat namun tanpa pijakan.
Kita tahu, di Badr
hari itu, Abu Jahl juga berdoa. Dengan kuda perkasanya, dengan mata
menantangnya, dengan suara lantangnya, dan telunjuk yang mengacung ke
langit dia berseru, “Ya Allah, jika yang dibawa Muhammad memang benar
dari sisiMu, hujani saja kami dari langit dengan batu!” Berbeda dari
Sang Nabi, kalimat doanya begitu bulat, utuh, dan pejal. Tak menyisakan
sedikitpun ruang untuk bertanya. Dan dia lebih rela binasa daripada
mengakui bahwa kebenaran ada di pihak lawan.
Itukah keyakinan
yang sempurna? Bukan. Itu justru kenaïfan. Naif sekali.
Mari
bedakan kedua hal ini. Yakin dan naïf. Bahwa dua manusia yang dijamin
sebagai teladan terbaik oleh Al Quran memiliki keyakinan yang menghunjam
dalam hati, dan keyakinan itu justru sangat manusiawi. Sementara
kenaifan telah diajarkan Iblis; untuk menilai sesuatu dari asal
penciptaan lalu penilaian itu menghalangi ketaatan pada PenciptaNya.
Atau seperti Abu Jahl; rela binasa daripada mengakui kebenaran tak di
pihaknya. Atau seperti Khawarij yang diperangi ‘Ali; selalu bicara
dengan ayat-ayat suci, tapi lisan dan tangan menyakiti dan menganiaya
muslim lain tanpa henti. Khawarij yang selalu berteriak, “Hukum itu
hanya milik Allah!”, sekedar untuk menghalangi kaum muslimin berdamai
lagi dan mengupayakan kemashlahatan yang lebih besar. Mencita-citakan
tegaknya Din, memisahkan diri di Harura dari kumpulan besar muslimin,
dan merasa bahwa segala masalah akan selesai dengan kalimat-kalimat. Itu
naïf.
Dan beginilah kehidupan para peyakin sejati; tak hanya
satu saat dalam kehidupannya, Ibrahim sebagai ayah dan suami, Rasul dan
Nabi, harus mengalami pertarungan batin yang sengit. Saat ia diminta
meninggalkan isteri dan anaknya berulang kali dia ditanya Hajar mengapa.
Dan dia hanya terdiam, menghela nafas panjang, sembari memejamkan mata.
Juga ketika dia harus menyembelih Isma’il. Siapa yang bisa meredam
kemanusiaannya, kebapakannya, juga rasa sayang dan cintanya pada sesibir
tulang yang dinanti dengan berpuluh tahun menghitung hari.
Dan
dia memejamkan mata. Lagi-lagi memejamkan mata.
Yang dialami para
peyakin sejati agaknya adalah sebuah keterhijaban akan masa depan.
Mereka tak tahu apa sesudah itu. Yang mereka tahu saat ini bahwa ada
perintah Ilahi untuk begini. Dan iman mereka selalu mengiang-ngiangkan
satu kaidah suci, “Jika ini perintah Ilahi, Dia takkan pernah
menyia-nyiakan iman dan amal kami.” Lalu mereka bertindak. Mereka
padukan tekad untuk taat dengan rasa hati yang kadang masih berat.
Mereka satukan keberanian melangkah dengan gelora jiwa yang
bertanya-tanya.
Perpaduan itu membuat mereka memejamkan mata. Ya,
memejamkan mata.
Begitulah para peyakin sejati. Bagi mereka,
hikmah hakiki tak selalu muncul di awal pagi. Mereka harus bersikap di
tengah keterhijaban akan masa depan. Cahaya itu belum datang, atau
justru terlalu menyilaukan. Tapi mereka harus mengerjakan perintahNya.
Seperti Nuh harus membuat kapal, seperti Ibrahim harus menyembelih
Isma’il, seperti Musa harus menghadapi Fir’aun dengan lisan gagap dan
dosa membunuh, seperti Muhammad dan para sahabatnya harus mengayunkan
pedang-pedang mereka pada kerabat yang terikat darah namun terpisah oleh
‘aqidah.
Para pengemban da’wah, jika ada perintahNya yang berat
bagi kita, mari pejamkan mata untuk menyempurnakan keterhijaban kita.
Lalu kerjakan. Mengerja sambil memejam mata adalah tanda bahwa kita
menyerah pasrah pada tanganNya yang telah menulis takdir kita. Tangan
yang menuliskan perintah sekaligus mengatur segalanya jadi indah. Tangan
yang menuliskan musibah dan kesulitan sebagai sisipan bagi nikmat dan
kemudahan. Tangan yang mencipta kita, dan padaNya jua kita akan pulang….
Salim
A. Fillah –www.fillah.co.cc-
No comments:
Post a Comment